Bayi lahir sempurna merupakan dambaan setiap orang tua. Salah satu bentuk kelainan bawaan  pada bayi  adalah atresia koana. Atresia koana ditandai dengan tertutupnya satu atau kedua posterior kavum nasi oleh membran abnormal atau tulang. Penyebab pasti atresia koana masih belum diketahui, namun banyak berteori tentang kegagalan embriogenik dimana masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membran yang terdiri atas  epitel nasal dan oral terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang kemudian menjadi atresia koana.  Teori lain adalah kegagalan perkembangan dari rongga hidung dalam hubungannya dengan nasofaring. Selain itu diduga adanya adanya kelainan genetik yaitu keterlibatan kromosom 22q11.2 yang dapat menyertai kelainan kongenital lain.3 Lee dkk juga mengevaluasi adanya hubungan antara kadar T4 bayi dan atresia koana non sindrom yang  menunjukkan peran dari rendahnya kadar hormon tiroid dengan       terjadinya atresia koana.1

              Kejadian kongenital ini jarang terjadi dan mucul sekitar 1 dari 7000-8000 kelahiran hidup. Dua kali lebih  banyak terjadi pada bayi perempuan dibanding laki-laki. 1Atresia koana seringkali timbul disertai kelainan kongenital lainnya yaitu hingga 50%. Salah satunya yang paling umum atresia koana merupakan bagian dari  kelainan kongenital CHARGE syndrom  ( C= Coloboma, H = Heart Disease, A= Atresia Koana, R= Retarded growth and development, G= Genital Hypoplasia, E= ear deformities or deafness).2 Berdasarkan data, 65% sampai 75% dari pasien dengan atresia koana adalah unilateral, sedangkan sisanya adalah bilateral.2 Sekitar 30% atresia koana terjadi karena tertutupnya tulang, sedangkan 70% campuran antara tulang dan membran atau membran abnormal.1,2

Diagnosis atresia koana ditegakkan berdasarkan alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan berupa obstruksi nasi dan siklus sianosis dan apnea (classic sign) muncul jika anak diam dengan mulut tertutup atau menyusui dan menghilang saat anak menangis atau saat mulut terbuka.2. Gejala klinis penderita tergantung dengan jenis atresia koana tersebut. Atresia koana bilateral akan memiliki gejala kegawatdaruratan respiratori akut pada bayi baru lahir.1 Diagnosis ditegakkan dengan memasukkan kateter ukuran no 5 atau 6 F setidaknya 3 cm melalui hidung ke nasofaring, Jika kateter tidak dapat melewati   kavum nasi maka kemungkinan adanya atresia koana. Pemeriksaan penunjang berupa endoskopi fleksibel dapat mengevaluasi patensi nafas dan anatomi. Dapat juga dilakukan pemeriksaan radiografi dengan memasukkan  kontras ke dalam kavum nasi untuk melihat gambaran obstruksi. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT Scan hidung dan sinus paranasal.3 CT scan sinus paranasal    dan endoskopi nasal digunakan untuk mengetahui sifat obstruksi tulang atau membran, posisi, lokasi, sehingga dapat membantu untuk rencana terapi.1

Penatalaksanaan bervariasi dan tergantung dari umur, tipe dari atresia dan keadaan umum dari penderita. Atresia koana bilateral merupakan penyakit kegawatdaruratan karena menyebabkan sumbatan hidung total sehingga penderita mengalami asfiksia. Penatalaksanaan pada atresia koana bilateral yang bersifat darurat bertujuan untuk menjamin jalan napas.1,2 Pada  atresia koana yang bersifat unilateral jarang terjadi keadaan emergensi. Penanganan  dapat ditunda selama beberapa bulan, sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan  hidung, yang meningkatkan kemudahan operasi dan mengurangi risiko pasca operasi, komplikasi dan restenosis.1,2Tindakan pembedahan atresia koana antara lain dengan pendekatan transnasal dan transpalatal.2, Keuntungan utama dari pendekatan transnasal adalah prosedur yang minimal invasif, waktu yang cepat, perdarahan minimal.11 Pendekatan transpalatal sebelumnya juga memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, dapat digunakan pada kasus stenosis berulang dimana memungkinkan visualisasi yang baik dan pemeliharaan flap sehingga menurunkan  kejadian jaringan parut dan restenosis pasca operasi, dan penggunaan stent jangka pendek. Namun, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada palatum durum, lengkungan alveolar, dan midface, kelainan oklusi misalnya fistula palatum, lamanya waktu operasi dan kehilangan darah, risiko kerusakan pada greater palatine neurovascular bundle, dan kerusakan dari palatum mole sehingga dapat menimbulkan masalah di masa depan berupa rinofonia.1,3

Penggunaan mitomycin C secara topikal sebagai tambahan untuk perbaikan   bedah atresia koana. Mitomycin C dapat meningkatkan patensi dengan penurunan kebutuhan untuk pemasangan stent, dilatasi dan operasi revisi.

Penggunaan stent paska operasi atresia koana masih kontroversial. Beberapa ahli mengatakan bahwa stent dapat menstabilisasi jalan napas dan mencegah   stenosis, akan tetapi dapat juga menjadi nidus untuk terjadinya infeksi dan memicu  timbulnya reaksi tubuh terhadap benda asing. Oleh sebab itu dianjurkan pemberian  antibiotik profilaksis setelah pemasangan stent. Pemberian obat antirefluks dianjurkan karena refluks gastroesofagus dapat menyebabkan terjadinya granulasi dan stenosis.1-3

Penulis:

Dr.dr. Made Lely Rahayu, Sp.T.H.T.K.L(K)

DAFTAR PUSTAKA

  1. PL Dhingra, Shruti D, Deeksha Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery. Elsevier. 2014
  2. J Soma, MM, Donna, Sheri, Eliaine. CHARGE (Coloboma, Heart Defect, Atresia Choanae, Retarded Growth and Development, Genital Hypoplasia, Ear Anomalies/Deafness) Syndrome and Chromosome 2 Deletion Syndrome: A Comparison of Immunologic and Nonimmunologic Phenotypic Features. Pediatrics. 2011;123(5).
  3. Barrow TA, Saal HM, de Alarcon A, Martin LJ, Cotton RT, Hopkin RJ. Characterization of congenital anomalies in individuals with choanal atresia. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2009;135(6):543-7.