Gagal ginjal merupakan penyakit sekunder dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif dan ireversibel, sehingga timbul gejala hematuria (warna kencing kemerahan), edema (bengkak terutama pada kedua kaki), anemia (kurang darah, tampak pucat), dan mudah lelah. Penyebab gagal ginjal yang paling sering yaitu kencing manis (diabetes mellitus), hipertensi, serta obstruksi (penyumbatan) dan infeksi pada ginjal. Mengatasi gejala tersebut maka dilakukan hemodialisis (cuci darah) merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat yang toksik dari dalam tubuh dan mengeluarkan air yang berlebihan.
Tujuan Indonesia sehat 2025 sampai saat ini masih mengalami berbagai kendala hal ini dikarenakan masih tingginya masalah-masalah penyakit degeneratif. Beberapa dari penyakit tersebut adalah penyakit gagal ginjal (Depkes, 2013). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2012 penyakit gagal ginjal di dunia setiap tahunnya meningkat lebih dari 30%. Prevalensi gagal ginjal pada pasien usia lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%) (Aisara, Azmi, & Yanni, 2018).
Dampak yang diakibatkan oleh gagal ginjal antara lain: ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal, hal ini terjadi karena adanya penahanan cairan dan natrium sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi, anemia.
Pasien gagal ginjal, kondisi tubuh yang melemah dan ketergantungan pada mesin-mesin dialisis sepanjang hidupnya akan menyebabkan penderita dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara terus menerus sepanjang hidup. Akibatnya akan menjadi stresor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan pasien yang meliputi biologis, psikososial, sosiologis dan spiritual.
Prevalensi depresi pada pasien gagal ginjal adalah tiga sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum dan dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya termasuk diabetes, penyakit arteri koroner, dan penyakit paru obstruktif kronis. Pada pasien hemodialisis prevalensinya sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47% mengalami depresi.
Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis mengalami masalah psikososial seperti merasa khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan. Pasien biasa mengalami masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, masalah seksual (impotensi), merasa bersalah dan ketakutan menghadapi kematian.
Gangguan Mental yang dialami pasien gagal ginjal, antara lain:
- Gangguan panik dan kecemasan dengan gejala somatik seperti sesak napas, jantung berdebar, nyeri dada, berkeringat dan takut mati dapat terjadi pada kasus gagal ginjal. Proses dialisis dan banyaknya komplikasi medis berpotensi menimbulkan rasa kekhawatiran dan antisipasi berlebihan pada pasien.
- Depresi: gangguan yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, serta rasa putus asa dan tidak berdaya akan semakin memperburuk kualitas hidup pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani hemodialisis jangka Panjang
- Delirium adalah keadaan kebingungan akut yang ditandai dengan timbulnya kesadaran yang berfluktuasi, gangguan memori dan perhatian serta pemikiran yang tidak teratur yang dapat dikaitkan dengan kondisi medis, keracunan, atau efek samping obat.
- Sindrom disequilibrium cukup sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama atau segera setelah proses hemodialisis. Kondisi ini disebabkan oleh koreksi berlebihan dari keadaan azotemia (uremik berat), bersifat sementara.
- Demensia Dialisis juga dikenal dengan sebutan ensefalopati dialisis adalah sindroma yang fatal dan progresif. Pada prakteknya hal ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien yang sudah menjalani dialisis paling sedikit satu tahun. Kondisi ini diawali dengan gangguan bicara, seperti gagap yang kemudian berlanjut menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak bisa bicara sama sekali.
Langkah yang perlu dilakukan:
- Menerima kondisi yang baru yaitu merawat diri sendiri yang menderita gagal ginjal. Lakukan Mindfullness
- Dengan ikhlas merawat kondisi yang baru saat ini akan mampu mengurangi obat-obatan yang diberikan
- Konseling dengan psikiater terdekat agar diberikan psikoterapi Cognitive Behavioural Therapy
- Komunikasi terbuka dengan keluarga terdekat sebagai support dalam menjalani kondisi yang baru ini
Penulis:
dr. Ida Aju Kusuma Wardani, SpKJ(K), MARS
Daftar Pustaka
Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal kesehatan Andalas., 42-50.
Andri. (2015). Kondisi Psikologis Penderita Gagal Ginjal. Kilas Mediakom.
Depkes, R. (2013). Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: URL : Dirjen P3L.